Kristus Sebagai Kepala Tubuh
(Efesus 4:1-16)
Sebutlah “Anugerah”. Pertemuan saya dengannya meninggalkan kesan yang mendalam. Ia tinggal di Rumah bagi Orang-Orang Cacat yang dikelola oleh Palang Merah Singapura. Segelintir orang tinggal di sana karena bekerja sebagai perawat. Namun, sebagian besar, termasuk Anugerah, tinggal di sana karena mereka terlahir cacat. Anugerah adalah salah satu penghuni rumah tersebut yang hanya dapat terbaring di atas tempat tidurnya. Kemampuannya hanyalah ini: bernafas, mengedipkan mata, dan menggerakkan kepala dan mulutnya. Otaknya yang cacat sejak lahir adalah penyebabnya.
Memang kepala adalah bagian tubuh yang sangat vital. Di sinilah letak otak, pusat sistem syaraf, yang dapat dikatakan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang kita pikirkan, rasakan, dan lakukan. Artinya, dengan melihat bagaimana seseorang hidup, kita dapat mengetahui apakah otak orang tersebut berfungsi dengan baik atau tidak. Saya, atau siapa pun juga, dapat dengan mudah memastikan bahwa otak Anugerah tidak berfungsi dengan baik ketika melihat dirinya yang hanya bisa terbaring di atas tempat tidur. Singkatnya, dengan melihat bagaimana seseorang hidup, kita dapat mengetahu “jenis” otaknya, baik atau tidak.
Orang-orang yang hidup di sekitar masa ditulis dan diedarkannya surat Efesus juga memiliki pemahaman yang hampir sama. Kita menyebutnya “otak”, mereka menyebutnya “kepala”. Di dalam pemahaman mereka, kepalalah yang memiliki otoritas atas segala sesuatu yang tubuh lakukan. Kepala adalah pusat kontrol. Segala sesuatu yang tubuh lakukan adalah cerminan dari apa yang dikehendaki oleh kepala. Tubuh pasti menaati apa yang kepala inginkan. Rasul Paulus menggunakan konsep ini untuk menggambarkan relasi antara Yesus Kristus dan Gereja-Nya. Kristus adalah sang Kepala Gereja. Melalui konsep ini, sang Rasul hendak menekankan bahwa Gereja sebagai tubuh Kristus seharusnya hidup dan bergerak seirama dengan irama Kristus.
Kita patut bersyukur bahwa nama jemaat lokal kita, menurut saya, adalah nama yang sangat ideal: “Gereja Kristus”. Secara teologis, memang tidak ada Gereja yang bukan Gereja Kristus. Namun, jangan senang dulu. Kita seharusnya bertanya: Ketika dunia melihat Gereja Kristus, akankah mereka melihat Kristus sang Kepala Gereja? Apakah program-program gereja, alokasi anggaran gereja, serta sikap hidup kita sudah semata-mata dikendalikan oleh apa yang Kristus kehendaki? Sudahkah kita sungguh-sungguh bergumul dan bertanya apa yang sesungguhnya Kristus inginkan atas Gereja Kristus Bogor? Ataukah kita bersikap pragmatis dan hanya sekadar melakukan dan meneruskan apa yang sudah ada sejak dahulu tanpa bertanya apakah ini yang masih Kristus ingin kita kerjakan pada masa kini? Apakah Gereja Kristus sedang berjuang mati-matian untuk “bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala”? (ay. 15) Jika tidak, maka eksistensi Gereja Kristus Bogor hanyalah sebuah ironi yang mencemarkan nama Kristus, sang Kepala Gereja. (ap)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar